Setahun Belajar Bersama Kawan-kawan Mahasiswa Perbandingan Agama

February 1, 2011

Pembekalan Wisudawan-wisudawati Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Begitu tapak kaki memasuki Januari 2011, saat itupula sebuah lintasan perjalanan bersama kawan-kawan mahasiswa Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Sunan Kalijaga Yogyakarta telah terbentang sepanjang 1 tahun. Bukan lintasan yang cukup panjang, tapi saya kira sudah relatif cukup untuk menhasilkan jejak yang tidak terlalu samar. Memang hasil belum dapat dilihat, tapi proses pembelajaran yang telah dilakukan perlu direnungkan agar tidak sekedar menjadi ritualitas.

Menjadi dosen adalah pilihan. Artinya, kita bisa saja memilih posisi yang lain, yaitu posisi yang terbaik dan yang membuat kita merasa nyaman. Harus disadari, ukuran “terbaik” bagi kita, mungkin saja bebeda dengan posisi “terbaik” menurut orang lain.  Demikian juga nyaman menurut kita, mungkin tidak nyaman bagi orang lain. Hal ini dapat dilihat dari keragaman pilihan posisi seseorang. Seorang kawan saya di CRCS Sekolah Pasca Sarjana UGM Yogyakarta misalnya, memilih menjadi “wiraswasta” daripada Pegawai Negeri. Akibat pilihannya itu, dia berkesempatan menjelajahi seluruh kawasan Indonesia dengan gratis. Kawan di S1 Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga demikian. Ketika sebagian teman-temanya sibuk berubut menjadi CPNS dan atau melanjutkan studi S2, dia lebih memilih menjadi pedagang sapi. Hasilnya luar biasa. Ketika teman-temannya masih sibuk membangun hidup dan kehidupan, dia kini telah menjadi juragan sapi yang luar biasa sukses.

Demikian juga pilihan aku untuk menjadi dosen. Setelah menyelesaikan kulian di S1 Perbandingan Agama UIN Sunan Kalijaga dan S2 Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, aku bergabung dengan “Datuk Cendikia Hikmatullah” Mahyudin Al Mudra bersama-sama melakukan revitalisasi Melayu melalui Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) Yogyakarta. Di BKPBM, saya mendapat kepercayaan untuk menjadi salah satu pimpinan www.melayuonline.com dan www.rajaalihaji.com. Di BKPBM, khususnya di www.melayuonline.com dan www.rajaalihaji.com, aku mendapatkan pengalaman luar biasa, tidak saja dalam mengasah kemampuan melakukan research tentang budaya Melayu, sehingga sedikit banyak mengetahui Melayu, tetapi juga menyadarkanku betapa “tidak siapnya” alumni perguruan tinggi masuk dalam dunia kerja (baca: hidup di masyarakat).

Pengalaman di www.melayuonline.com dan www.rajaalihaji.com menuntunku melakukan sesuatu yang berbeda ketika harus menjadi dosen di Jurusan Perbandingan Agama (PA), Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Tantangan yang dihadapi oleh alumni PA saat ini tentu lebih berat daripada tantangan yang aku hadapi 10 tahun yang lalu. “Mau jadi apa lulusan PA?”, kira-kira itulah yang selalu ditanyakan orang jika tahu aku mahasiswa PA kala itu. Dan saya yakin, pertanyaan itu juga akan ditemui oleh mahasiswa PA saat ini, dan mungkin pada masa yang akan datang. Apalagi dijaman yang semuanya serba diukur dengan “skill” yang harus sesuai dengan kepentingan dunia kerja saat ini.

Secara idealitas, orang-orang yang memiliki pola pikir terbuka (open minded) sangat dibutuhkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang multi agama dan multi budaya. Hanya mereka yang open minded, yang dapat menyikapi keragaman agama dan budaya secara positif, dan merajutnya menjadi permadani nan elok dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas hingga pulau Rote. Pribadi-pribadi dengan kualifikasi tersebut, secara akademis, dipersiapkan oleh Jurusan Perbandingan Agama.Sayangnya, realitas tidak terlalu berpihak kepada mereka yang dididik untuk open minded. Yang paling dibutuhkan saat ini bukan mereka yang open minded dan terlalu banyak berpikir, tetapi yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan hasil-hasil teknologi modern.

Konflik antaragama dan ketegangan antarsuku yang selama ini sering menjadi krikil-krikil tajam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, tentu dapat diminimalisir jika dalam diri setiap warga Negara Indonesia memiliki sikap saling menghormati dan menghargai. Kondisi seperti ini yang seharusnya tercipta seiring semakin berkembang dan menguatnya demokrasi di Indonesia. Hanya saja, nampak jauh panggang dari api. Menguatnya tradisi berdemokrasi ternyata tidak berbanding lurus dengan meningkatnya sikap toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Secara sistem pemerintahan, intoleransi dapat dilihat dari munculnya perundang-undangan yang cenderung intoleran terhadap perbedaan, khususnya perbedaan agama, sehingga hubungan mayoritas-minoritas di beberapa daerah semakin mengeras. Secara budaya, intoleransi dapat dilihat dari maraknya kekerasan yang dilakukan oleh kelompok agama tertentu terhadap kelompok agama yang lain. Semakin banyaknya simbol-simbol keagamaan diranah publik juga merupakan indikasi semakin memudarnya tradisi saling menghormati dan menghargai.

Dalam dunia minggu terakhir ini, misalnya, kita dikejutkan oleh ditangkapnya beberapa anak muda yang disinyalir menjadi anggota teroris. Menjadi anggota teroris, artinya mereka memiliki sikap enggan berbagi dunia karena intoleran terhadap perbedaan ––baik yang berbeda agama maupun yang seagama tetapi berbeda keyakinan. Bagai bangsa Indonesia yang multiagama dan multibudaya, tentu sangat mengkhawatirkan jika paham intoleran tersebut telah tertanam di dalam diri anak-anak muda. Mau jadi apa bangsa ini nantinya jika generasi mudanya memiliki worldviews yang intoleran. Bukan mustahil, jika worldviews ini tidak dibendung, maka keragaman yang dapat dirajut menjadi permadani, menjadi sumber pemantik kekacauan.

Adanya intoleransi, baik secara sistem maupun budaya, tersebut sebenarnya dapat diminimlisir jika para guru, para pemimpin politik, para penyelenggara Negara, ormas, dan masyarakat umum memiliki paradigma “perbandingan Agama”. Jika para guru “agama” berparadigma “Perbandingan Agama” tentu mereka tidak akan membajak nilai-nilai keluhuran agama dengan mengajarkan murid-muridnya kebencian terhadap agama lain; jika para penyelenggara Negara dan politisi berparadigma “Perbandingan Agama” tentu mereka tidak akan membuat regulasi yang intoleran terhadap umat beragama, dan lain sebagainya. Mencetak generasi yang memiliki “Paradigma” perbandingan agama itu yang menjadi “niatan” saya ketika memilih menjadi Dosen di Jurusan Perbandingan Agama.

Antara Mimpi dan Kenyataan

Dosen; bukunya se-DOS, gajinya se-SEN, demikian beberapa kawan mengomentari pilihanku menjadi dosen. Walau katanya se-SEN, tentu masih lebih banyak dari mereka yang tidak bekerja. Yang ingin saya katakana adalah bahwasannya dalam setiap pilihan ada harga yang harus dibayar. Menjadi dosen tidak saja harus siap dengan gaji se-SEN, tetapi juga harus meluangkan waktu untuk menambah pengetahuan dengan terus membaca; menjadi mahasiswa harus bersiap untuk membaca referensi minimal yang disarankan dan mengerjakan tugas yang dibebankan oleh dosennya; menjadi tentara harus siap ditugaskan untuk menjaga pulau terluar dan hidup terpisah dari sanak-saudara yang dicintai; dan bakan menjadi Presiden pun juga harus mengurangi waktu untuk sanak-saudaranya, dan meluangkan banyak waktu untuk warganya. Disinilah yang saya maksud dengan bersiap membayar harga dari sebuah pilihan.

Idealisme untuk mengantarkan mahasiswa PA memiliki paradigma Perbandingan Agama “memaksaku” mendesain empat matakuliah selama dua semester dengan sangat serius, baik dari sisi materi maupun metodenya. Secara materi, setiap matakuliah disusun berdasarkan paradigma “ilmu untuk hidup”. Dengan cara ini, dimungkinkan setiap mahasiswa memiliki skill sesuai dengan standar kompetensi yang telah disepakati pada kontrak belajar diawal perkuliahan. Sedangkan pembelajarannya dilakukan secara andragogi —walau terkadang juga diselingi dengan pedagogy– atau yang biasa disebut metode  pembelajaran untuk orang dewasa. Standar kompetensi yang telah ditentukan dan metode andragogi yang dipilih tidak saja mensyaratkan dosen harus memahami materi yang akan diajarkan, tetapi juga mensyaratkan partisispasi aktif mahasiswa dalam proses pembelajaran (active learning).

Agar para mahasiswa dapat berpartisipasi aktif dalam setiap sesi perkuliahan, maka setiap mahasiswa diwajibkan membuat resume materi yang akan dibahas sebanyak satu halaman. Tubuh para mahasiswa boleh tidak berada di kelas, tetapi resume harus sampai di kelas. Resume yang dibikin kawan-kawan mahasiswa kemudian saya beri komentar dan nilai, dan saya kembalikan pada pertemuan berikutnya. Hasil resume mingguan tersebut berbobot 30% dari seluruh penilaian pada akhir perkuliahan. Memang sangat melelahkan dan menghabiskan banyak waktu, tidak saja bagi saya tetapi juga bagi kawan-kawan mahasiswa. Tapi keyakinan saya mengatakan bahwa cara tersebut akan sangat ampuh untuk menyembuhkan penyakit malas membaca dan menulis yang semakin mewabah menjangkiti mahasiswa. Karena, dengan cara tersebut setiap mahasiswa mau tidak mau harus membaca dan menulis.

Dengan terlebih dahulu membaca dan menulis materi yang akan dipelajari bersama, seyogyanya para mahasiswa telah mempersipakan diri dengan bekal yang diperlukan selama proses belajar. Bukankan banyaknya “air” ilmu yang dapat kita tampung, sebesar wadah yang kita siapkan. Jika kita hanya mempersiapkan gelas, maka ilmu yang kita dapat juga hanya segelas. Jika kita mempersiapkan drum, maka ilmu yang kita dapatkan juga bisa sedrum. Dalam pemaknaan inilah, proses membaca dan menulis resume yang tempatkan, yaitu untuk mempersiapkan wadah penampung ilmu dalam proses belajar di kelas. Selain itu, dengan cara ini, dosen tidak lagi menjadi figur sentral di kelas, tetapi sekedar teman untuk melakukan sharing pengetahuan.

Rencana boleh bagus, tapi dilapangan tidak semudah yang direncanakan. Harus ektra sabar. Pertemuan kedua biasanya hanya sedikit yang mengumpulkan resume, apalagi jika mahasiswanya telah semester tua. Tetapi dengan keteguhan berpegang pada aturan, misalnya setiap resume diberi komentar dan nilai, pada akhirnya yang mengumpulkan resume semakin banyak. Demikian juga ketika resume yang dibuat pada awalnya asal-asalan, maka setelah resume ketiga atau keempat biasanya cenderung akan lebih baik. Hanya saja, menerapkan metode ini harus siap untuk dinilai jelek oleh mahasiswa, khususnya oleh mereka yang sejak awal tidak serius untuk kuliah.

Dengan metode pembelajaran seperti ini, sedikitnya ada tiga hal yang saya dapatkan. Pertama, mahasiswa kembali membaca. Semakin menguatnya budaya tutur akibat dari kemajuan teknologi, budaya membaca mahasiswa cenderung menurun. Oleh karena tugas mahasiswa menyerap pengetahuan sebanyak-banyaknya, maka dengan kembali membaca mereka telah menjalankan tugasnya. Kedua, mahasiswa kembali menulis. Teknologi telah membuat mahasiswa hidup dalam kemudahan, khususnya dalam hal tulis menulis. Makalah tinggal copy paste dari data-data yang telah tersimpan di internet. Semuanya mudah dilakukan. Tetapi buruknya, mahasiswa kehilangan kretivitas dan daya kritisnya, khususnya dalam menuangkan ide-idenya. Jika menulis ini tidak kembali dibudayakan, maka jangan heran jika generasi copy paste akan lahir di bumi pertiwi ini. Ketiga, mahasiswa memiliki kemampuan untuk menggunakan teori yang didapat untuk menganalisis fenomena social dan menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Ternyata, walaupun belum maksimal, mimpi itu semakin menjadi kenyataan. Jangan takut untuk bermimpi, karena mereka yang memiliki mimpi tentu tahu cara meraihnya. Untuk kawan-kawan mahasiswa yang telah menemaniku berproses menjadikan mimpiku kenyataan, saya ucapkan terimakasih. Bagi mereka yang merasa kurang nyaman dengan proses tersebut, saya mohon maaf. Tapi saya yakin, jika kini belum mendapatkan manfaat, insyaAllah dikemudian hari manfaat itu akan dirasakan.

Jika ada sumur di ladang                                                                                                bolehlah kita menumpang mandi                                                                                            jika ada umur panjang                                                                                                      insyaalah lain waktu kita bertemu kembali

6 Responses to “Setahun Belajar Bersama Kawan-kawan Mahasiswa Perbandingan Agama”

  1. zulkarnain said

    good teacher… soale guru skrg buth yg berkarakter sprti bapak. agar dunia keilmuan tidak hanya mandeg dari ilmu untuk ilmu. ya.. setidaknya ada terobosan anyarlah. intinya, metode mengajr yg bapak terapkan pada kami, mahasiswa perbandingan agama, khususnya bagi saya pribadi sudah dapet meningkatkan dan menstimulus untuk lebih berusaha lebih keras lg. hehehe.. biar gak jelek hasilnya, sprti UAS kmren. pd amburadul eh, hii

  2. afun said

    cukup mengugah semangat, boleh juga menjadi jembatan menuju cita cita yang kita impikan

  3. ali hasan said

    fakultas FASIQ. Gak perlu agama itu di banding bandingkan,, apakah anda ragu terhadap islam?

    • Ahmad Salehudin said

      banyak orang yang salah paham dengan perbandingan agama… belajar di perbandingan agama bukan karena ragu terhadap Islam, tetapi agar lebih memahami Islam. Mahasiswaku tidak sedikit yang alumni pesantren dan hafal quran. Ketakutan mempelajari agama lain jangan2 disebabkan oleh ketidak mengertian terhadap Islam yang kita anut. Al-Quran saja sangat banyak membahas agama-agama lain… teruslah berpikir dan jangan terburu-buru membuat kesimpulan.

  4. ellynepain said

    assalamualaikum wr. wb.

    pak.. saya juga tertarik dengan jurusan perbandingan agama, tapi bagaimana syarat agar bisa masuk ke jurusan tersebut?
    saya baru lulus tapi saya lulus SMK jurusan TKJ, berbeda jauh sekali dengan jurusan ini. apakah saya bisa? syukron katsiron.

    • Ahmad Salehudin said

      apapun latarbelakang pendidikannya, dapat mendaftar untuk menjadi mahasiswa Perbandingan Agama, tentu jika lolos dalam ujian masuk. Sepengetahuan saya, ada beberapa ujian masuk yang dapat dilakukan, seperti SNMPTN, bidik misi, terus ujian reguler (lokal) yang dilaksanakan oleh UIN Sunan Kalijaga sendiri. Jika perlu informasi tambahan, silahkan kirim email ke ahmad_salehudin@yahoo.co.id. makasih, semoga selalu sukses dan bahagia.

Leave a reply to zulkarnain Cancel reply